Kembali lagi bersama Kami "Monggo Ngaji" , pada kesempatan ini kami memberi sebuah kisah Malam Panjang di Mina yang mana kisah tersebut merupakan kisah ke 4 dari 9 kisah dalam buku Bidadari Bumi karya Hubabah Halimah Alaydrus - Jakarta
Sebelum membaca bab 4, bagi yang belum membaca kisah sebelumnya monggo lebih baik membacanya :
Bab 1 Bidadari Bumi Hubabah Tiflah - Ajarkan aku berdoa sepertimu
Bab 2 Bidadari Bumi - Sang Pembawa Pesan
Bab 3 Bidadari Bumi - Zuhud
Selemat membaca
Tahun kedua di Tarim, Alhamdulillah…Allah mengizinkan aku melaksanakan rukun Islam yang ke lima. Setelah kepulangan kakakku ke tanah air dan aku kemudian menetap di asrama Daruz Zahro bersama pelajar-pelajar yang lain, keluargaku menyarankan aku berangkat haji dari Yaman.
“Pasti lebih murah … udah dekat kan?” kata mereka
Dan ini adalah sepenggal kisah indah yang tersisa….
Tanggal 8 dzulhijjah kala itu, ketika kami beberapa orang
pelajar putri Daruz Zahro berangkat naik bis bersama rombongan dari tempat kami
tinggal selama di Mekkah menuju Mina untuk mengerjakan sunnah haji, menginap di
Mina pada malam Arofah.
Tenda yang kami tempati selama di Mina ternyata sangat besar
dan mewah hingga 200 orang-an bisa tertampung di dalamnya. Tak ada orang
Indonesia selain dari kami. Mereka yang di tenda itu adalah warga Mekkah,
Madinah, Yaman, Mesir, Oman, Kuwait dan Negara arab-arab lainnya. Beruntung
bahasa arab ku kala itu sudah cukup baik hingga aku bisa berkomunikasi dengan
tetangga-tetangga baruku di kemah tersebut.
Dan beliau adalah tetangga yang bersebelahan tempat tidurnya
denganku. Seorang wanita berusia enam puluhan tahun. Khadijah namanya, jujur
sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentangnya dan tidak terlalu peduli padanya.
Namun ketika nyaris semua orang Mekkah, Madinah dan sekitarnya selalu
mengelilingi beliau, mulai dari sekedar curhat, hingga mereka meminta tangan
Hubabah Khadijah begitu mereka memanggil beliau- untuk diletakkan di dada
mereka sambil berdoa, tahulah aku bahwa beliau tentu bukan sembarang orang, dan
akupun merasa bangga menjadi tetangganya meski hanya untuk beberapa malam saja,
bukankah tetangga punyak hak lebih dari yang lainnya? Jika mereka mendapat
jatah doa dari beliau, aku seharusnya mendapat lebih dari mereka semua. Maka
aku mempersiapkan diri untuk mendapatkannya..
●●●
Keesokan harinya, rangkaian ibadah haji yang yang dimulai
dengan Wuquf di Arofah, Thowaf, Sa’I hingga melempar jumrah yang berturut-turut
membuatku berada di titik terendah kekuatn fisikku.
Maka, ketika kembali pulang ke Mina untuk Mabit (bermalam)
di tiga hari Tasyrik (Tanggal 11,12,13 dzulhijjah), aku tak peduli
apa-apa lagi. Selepas Tahallul dan mandi, kelelahan membuatku tidur lelap
sekali.
Pendekatanku pada beliau di mulai pada hari Tasyrik pertama,
usai melempar jumroh di sore hari aku menghampiri beliau dan kukatakan padanya
tentang adanya hak tetangga untuk mendapatkan jatah doa dan nasihat darinya,
beliau tersenyum dan bukan mendoakan malah mengajakku mengunjungi seseorang
yang sakit di tenda itu , kepalanya terkena lemparan batu saat melempar jumroh
pagi tadi.
“Sebagai tetangga yang baik, mari kita kunjungi tetangga
kita yang sedang tertimpa musibah” katanya menggodaku sembari menarik tanganku.
Aku menemani beliau sampai adzan maghrib terdengar
berkumandang dari tenda lelaki samping tenda kami. Usahaku ternyata belum
membuahkan hasil.
●●●
Selepas sholat, makan malam dan mendengarkan ceramah dari
guru kami Alhabib Umar bin Hafidz yang suaranya diperdengarkan lewat pengeras
suara ke tenda wanita, aku kembali mendekati beliau. Kali ini lengkap dengan
berbekal sebotol air mineral untuk beliau bacakan doa. Aku memang dibesarkan
dalam keluarga yang percaya hal-hal semacam ini. Jika seseorang dalam keluarga
kami sakit, ayahku biasa membacakan doa, dzikir, ayat qur’an dan sholawat pada
air yang kemudian diminumkan kepada yang sakit. Aku yakini hal-hal semacam ini,
meski penemuan tentang hidupnya air dan reaksinya yang menjadi energi positif
ketika diucapkan kata-kata yang baik baru kutahu 7 tahun kemudian dari sebuah
buku karya seorang professor besar di Jepang.
Aku ajukan air itu pada beliau namun beliau berkata;
“Wudhuku batal, bagaimana jika saya wudhu terlebih dahulu,
tetangga kecilku…?” katanya.
Aku mengangguk tanda setuju
Selepas wudhu beliau langsung mengerjakan sholat yang kutahu
pastilah sholat sunnah wudhu. Begitu ia salam dari sholatnya aku menyodorkan
kembali air itu. Beliau mengambilnya lalu meletakkannya di sampinng tempat tidur seraya bekata
“Bagaimana kalau saya sholat sunnah witir dulu barang dua
rakaat?”
Aku tentu tak mungkin mencegahnya. Aku cuma bisa mengangguk
pasrah. Dan memilih untuk menunggu beliau selesai sholat sambil duduk di atas
tempat tidurku sendiri.
Sholatnya ternyata lama sekali, aku mulai tak sabar
menunggu. Dan mungkin karena kelelahan setelah mengerjakan ibadah haji kemarin,
mataku mulai nanar tak jelas memandang,
pertanda kantuk mulai menyerang.
Aku beringsut membaringkan tubuhku, dan sampai menjelang aku
tertidur aku masih melihat beliau belum selesai dari 2 rakaat Witirnya yang
entah surat apa yang di baca
Aku terbangun dan melihat kemah sudah lewat pukul dua belas
malam dan ternyata aku dapati Hubabah Khadijah masih mengerjakan sholatnya. Aku
memandangnya takjub tanpa beranjak dari tempat tidurku, sekilas dari cahaya remang-remang
kusaksikan matanya yang sembab dan airmata mengalir membasahi pipinya yang
mulai keriput. Aku terus memandanginya sampai mataku tak bisa lagi berkompromi.
Aku kembali tak sadarkan diri, tertidur pulas sekali.
Aku terbangun lagi dan segera kulihat jam yang kutaruh
dibawah bantalku, jam dua dini hari. Tenda masih gelap, taka ada suara, begitu
sunyi senyap, semua orang sepertinya sudah tertidur lelap.
Namun, Subhanaallah…
Hubabah Khadijah kulihat masih berdiri dalam sholatnya entah
di rakaatnya yang ke berapa?
Aku memandanginya dengan iri kali ini, dan bukan air mata di
pipinya yang kusaksikan dalam keremangan cahaya tapi justru seulas senyum
terpancar dari wajahnya dan kulihat tak ada tanda kelelahan disana.
Aku hanya bisa memandanginya, dan sungguh baru mampu
sekedar memandanginya karena untuk
bangun dan melaksanakan sholat bersamanya, rasanya badan ini begitu malas dan
penat luar biasa. Kubiarkan diriku tertidur lagi.
Aku terjaga kembali dan kali ini lampu tenda sudah menyala,
terlihat beberapa orang tengah mengerjakan sholat Tahajjud di sela-sela tempat
tidur, terdengar pula suara dzikir dibacakan dari kemah sebelah. Aku memaksakan
diri untuk bangun sendiri dan mengambil wudhu. Namun sebelum aku benar-benar
berdiri, baru kusadari Hubabah Khadijah masih tengah sujud dalam sholatnya. Aku
terkesimadan takjub luar biasa. Sungguh seumur hidup, baru kali ini aku
menyaksikan seseorang sholat di sepanjang waktu malam, dan andai tak
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri barangkali aku tak pernah percaya
bahwa di zaman sekarang ini masih ada seseorang melakukannya…
Aku ambil botol air mineralku yang semalam beliau letakkan
di samping sajadahnya, menutupnya dan tak lagi merengek padanya untuk
membacakan doa pada air tersebut. Pemberian Allah kepada beliau semalam dalam sholat pastilah membuat air ini
benilai luar biasa
Terngiang ucapan AlHabib Umar di suatu sore saat memberi
pelajaran di majelis rauhahnya;
“Akan selalu ada di muka bumi ini hamba-hamba
yang hidup mereka telah diwakafkan untuk-Nya, siang mereka adalah berbuat baik
kepada sesama dan malam mereka bersimpu di mihrab, mendekatkan diri kepada
Tuhan dengan ruku, sujud dan berdiri menghadap-Nya tanpa kenal lelah.. mereka
adalah hamba-hamba Allah terbaik , yang karena rintihan doa-doa mereka. Allah
memberi rahmat kepada kita semua, hamba-hamba-Nya.”
Sumber: buku "Bidadari Bumi" - Hubabah Halimah Alaydrus - Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih sudah berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat