Daftar Isi :
Bab 1 Bidadari Bumi Hubabah Tiflah - Ajarkan aku berdoa sepertimu
Bab 2 Bidadari Bumi - Sang Pembawa Pesan
Bab 3 Bidadari Bumi - Zuhud
Bab 4 Bidadari Bumi - Malam Panjang di Mina
Bab 5 Bidadari Bumi - Wanita di Bis
Sabtu pagi…
Bab 1 Bidadari Bumi Hubabah Tiflah - Ajarkan aku berdoa sepertimu
Bab 2 Bidadari Bumi - Sang Pembawa Pesan
Bab 3 Bidadari Bumi - Zuhud
Bab 4 Bidadari Bumi - Malam Panjang di Mina
Bab 5 Bidadari Bumi - Wanita di Bis
Sabtu pagi…
Berarti awal aktivitas belajar
mengajar kembali dimulai. Dan sabtu pagi ini aku sudah berdiri di halaman Daruz
Zahro diantara ibu-ibu yang juga berdiri sepertiku menanti bis mengantar kami
ke Darul Faqih. mulai hari ini aku dipercaya untuk ikut serta mengajar Dauroh
Linnisa (semacam pesantren kilat tanpa menginap untuk kaum ibu), yang rutin
diadakan setahun sekali oleh pengurus ma’had kami.
Darul Faqih letaknya sekitar 5 kilometer dari Daruz Zahro.
Panitia menyiapkan bis antar jemput bagi peserta yang rumahnya jauh. Dan
ibu-ibu ini sudah berkumpul di halaman dari sebelum jam 06.30 pagi. Aku kagum
dengan semangat belajar mereka sekaligus bangga berada diantara mereka.
●●●
Tiba-tiba kulihat angina besar bertiup menerbangkan
debu-debu di jalanan. Aku jadi ingat jemuran bajuku di atas suth
(loteng) sana, jika tidak segera kuselamatkan bukan tak mungkin bisa
berterbangan dan mendarat di atas atap rumah tetangga atau tersangkut di
pelapah pohon-pohon kurma. Aku segera berlari masuk ke asrama, menaiki tangga
demi tangga dengan tergesa, mengangkat baju-bajuku yang sebagian sudah tidak
lagi berada di tempatnya, kemudian memasukkan begitu saja dalam sebuah bak
cucian yang ada.
Setelah selesai, akupun bergeggas turun, namun kemudian
kecewa karena tak lagi kudapati seorang pun di halaman yang tersisa. Semua
sudah berangkat berarti bisnya tadi sudah tiba dan lalu pergi tanpa aku tebawa
diantara mereka.
Lemas seketika aku rasanya satu-satunya yang bisa aku
lakukan hanya menghubungi panitia, meminta dikirimkan mobil atau apa saja yang
bisa mengantarku kesana. Lalu aku menunggu di halaman ini sampai
transportasinya tiba.
●●●
Bis besar itu kosong saat kumasuk, isinya hanya sopir,
kondektur dan aku yang duduk di tengah cukup jauh dari mereka. Aku betul-betul
sendirian tanpa ada teman yang kuajak bicara, maka ketika seorang wanita tua
memberhentikan bis kami di jalan untuk ikut entah sampai dimana, akupun
mensyukurinya.
“Assalamu’alaik ya Hubabah…” kataku menyapanya.
Dia sejenak menjawab salamku, kemudian memilih tempat duduk
di seberang pintu tanpa merasa mengajakku berbicara lebih panjang lagi. Maka,
akupun memilih menikmati pemandangan kota Tarim dari jendela.
Menatap Zambal dan Furait dari balik kaca bis selalu jadi
hiburan yang tak pernah kulewatkan, letaknya tepat ditengah kota. Bukan taman,
bukan pula kantor-kantor pemerintahan. Dua tempat tersebut adalah pemakaman.
Ribuan Waliyullah diyakini di makamkan disini.
Diantara mereka AlFaqihil Muqoddam (Muhammad bin Ali
Ba’alawi), Imam Al-Hadad (Abdullah bin Alwi AlHaddad) penyusun Ratib
Hadad yang terkenal itu, Syekh Umar Muhdor (Umar Al Muhdhor bin
Abdurrahman Asseqaf), Abdullah Al Aydrus Al Akbar (Abdullah Al Aydrus
bin Abu Bakar AsSakran) dan para wali lainnya, yang bahkan sekedar nama-nama
merekapun sulit bagiku menghafalnya. Pemakaman para wali bisa jadi sering aku
jumpai, namun lokasinya yang terletak di pusat kota, berdekatan dengan pusat
keramaian dan pasar adalah hal yang menarik. Melihatnya seperti melihat sebuah
papan pengumuman bertuliskan:
“Hiduplah di duniamu namun ingatlah tempat kembalimu adalah
kuburan.”
Kemudian bis kami melewati pasar, aku lihat sayur-sayur
segar dijajakan, roti-roti besar khas arab, para pedagang buah yang menawarkan
dagangannya juga kerajinan tangan dari para pengrajin berupa tembikar dari
tanah liat yang dibakar.
Pasar tradisional dimana-mana kulihat mirip-mirip saja, taka
da perbedaan yang mencolok disbanding pasar yang selama ini kulihat kecuali
bahwa aku tak menemukan seorang perempuan disana. Kota ini memiliki tradisi
perempuan memasak di rumah, dan suami atau saudara laki-laki berbelanja. Bagus
juga kurasa, menjadikan laki-laki lebih bertanggung jawab atas ekonomi
keluarga. Dan pasar disini cenderung lebih tenang disbanding pasar manapun.
Mungkin karena tidak ada perempuan yang memang sering kali lebih rewel daripada
laki-laki.
Aku masih termenung ketika bis kemudian tanpa kuduga
mengerem mendadak karena ada seorang anak yang tiba-tuba menyeberang jalan.
Bis itu mengerem begitu mendadak hingga tubuhku condong ke
depan dan membuat kepalaku terantuk sandaran kursi di hadapanku. Hanya itu yang
terjadi padaku yang masih muda dan berat badanku ringan saja. Aku bisa menjaga
keseimbangan. Namun wanita tua yang duduk tepat dua baris dihadapanku
keadaannya benar-benar memprihatinkan. Aku terkejut melihatnya. Dia
terpelenting dan jatuh di tangga pintu masuk, untung saja pintunya tertutup
rapat . rupanya dia berusaha memegang besi pintu bis yang licin hingga
membuatnya terjerembab dan tangannya tergores besi di bagian bawah pintu sampai
darahnya bercucuran.
Aku terkejut dan terperangah…
Benar-benar tak menyangka keadaannya sebegitu parah.
Belum selesai keterkejutanku, aku dibuat lebih terkejut lagi mendengar ucapan pertama yang mengalir dari
lisannya saat menyadari darah bercucuran dari tangannya. Dengan terlihat tanpa
menahan perih, dia berkata lirih:
“Alhamdulillah…
Terima kasih Ya Allah… atas karunia dan pemberian-Mu yang
taka da habis-habisnya”
SubhanAllah… aku terkesima beberapa saat lamanya. Hingga
akhirnya ketika dia mulai bisa bangun, aku segera berusaha memapahnya dan
menanyakan keadaannya.
Alhamdulillah, tidak apa-apa kok nak… Allah Tuhan kita
begitu baik, dan selalu memberi kita yang terbaik.”
Aku semakin terkesima mendengar jawabannya. Betapa mulia hati
wanita tua ini, yang bahkan kala ditimpa kemalangan dia tidak hanya bersabar
lagi mampu menerima dan mensyukurinya.
Semenjak kejadian pagi itu sampai malam hari aku terus
memikirkan kata-katanya sampai membuatku tidak bisa memejamkan mata. Aku begitu
malu, sungguh malu kepada Allah yang telah menganugerahkan padaku kehidupan,
sementara aku jarang sekali berterima kasih dan mensyukuri atas segenap nikmat
yang tak pernah putus-putusnya. Dan ironisnya, disaat tertimpa hal yang tidak
menyenangkan, aku seringkali berkeluh kesah. Padahal di atas muka bumi ini ada
hamba-hamba-Nya yang bahkan kala mereka di timpa musibah, mereka berterima
kasih dan mampu mensyukuri segalanya, sembari meyakini bahwa yang terjadi
adalah yang terbaik untuk mereka. Dan wanita ini adalah salah satunya.
Entah kapan aku menjadi golongan mereka ?
Akankah seumur hidup hanya menjadi hamba kebanyakan yang
sulit dan tidak mengerti cara berterima kasih pada Tuhannya ?
Entahlah…….
Sumber buku "Bidadari Bumi" karya Hababah Halimah Alaydrus - Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih sudah berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat