Assalamualaikum Wr Wb.
Kembali lagi bersama Kami "Monggo Ngaji" , pada kesempatan ini kami memberi sebuah kisah yangberjudul "Zuhud" yang mana kisah tersebut merupakan kisah ke 3 dari 9 kisah dalam buku Bidadari Bumi karya Hubabah Halimah Alaydrus - Jakarta
Sebelum membaca bab 3, bagi yang belum membaca kisah sebelumnya monggo lebih baik membacanya :
Bab 1 Bidadari Bumi Hubabah Tiflah - Ajarkan aku berdoa sepertimu
Bab 2 Bidadari Bumi - Sang Pembawa Pesan
Bab 3 Bidadari Bumi - Zuhud
Bab 4 Bidadari Bumi - Malam Panjang di Mina
Sebagai upaya menambah materi pelajaran dari apa yang kudapat di Daruzzahro, aku mengambil les privat dari Ustadzah Maryam, Puteri Habib Ali Masyhur, mufti (orang yang berwenang memberi jawaban terhadap permasalahan umat) Tarim saat ini. Beliau adalah seorang ustadzah yang aktif bergerak dalam bidang dakwah dan juga mengajar di Darul faqih, sebuah madrasah khusus puteri yang ada di Tarim ini juga. Aku belajar memahami tentang hadits-hadits Rosulullah SAW dari beliau seminggu sekali.
Kembali lagi bersama Kami "Monggo Ngaji" , pada kesempatan ini kami memberi sebuah kisah yangberjudul "Zuhud" yang mana kisah tersebut merupakan kisah ke 3 dari 9 kisah dalam buku Bidadari Bumi karya Hubabah Halimah Alaydrus - Jakarta
Sebelum membaca bab 3, bagi yang belum membaca kisah sebelumnya monggo lebih baik membacanya :
Bab 1 Bidadari Bumi Hubabah Tiflah - Ajarkan aku berdoa sepertimu
Bab 2 Bidadari Bumi - Sang Pembawa Pesan
Bab 3 Bidadari Bumi - Zuhud
Bab 4 Bidadari Bumi - Malam Panjang di Mina
Sebagai upaya menambah materi pelajaran dari apa yang kudapat di Daruzzahro, aku mengambil les privat dari Ustadzah Maryam, Puteri Habib Ali Masyhur, mufti (orang yang berwenang memberi jawaban terhadap permasalahan umat) Tarim saat ini. Beliau adalah seorang ustadzah yang aktif bergerak dalam bidang dakwah dan juga mengajar di Darul faqih, sebuah madrasah khusus puteri yang ada di Tarim ini juga. Aku belajar memahami tentang hadits-hadits Rosulullah SAW dari beliau seminggu sekali.
Sore ini beliau mengupas hadits :
“Zuhudlah (hilangkan dari hatimu kecintaan) terhadap harta
dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah (hilangkan dar hatimu
keinginan) terhadap apa yang dimiliki orang lain niscaya engkau akan dicintai
mereka.”
Ustadzah Maryam kemudian menjelaskan padaku arti zuhud dan
gambarannya dalam praktek kehidupan manusia. Seperti keteladanan Nabi Muhammad
SAW yang lebih memilih untuk mengganjal perutnya dengan batu karena menahan
lapar dan rela tidur di atas tikar usang darpada selalu kenyang dan hidup dalam
kenyamanan. Atau seperti Nabi Isa AS yang sampai hari beliau diangkat ke langit
tak pernah memiliki rumah sebagai tempat tinggal. Begitu juga para hamba-hamba
pilihan Allah yang lebih memilih untuk meninggalkan kesenangan dunia demi meraih
kebahagiaan akhirat.
Aku jadi tertarik dan bertanya:
“Ustadzah, masih tersisakah di zaman sekarang ini orang yang
bersifat zuhud, sementara godaan untuk mementingkan dunia sedemikian beratnya?”
“Tentu masih ada” jawab beliau.
“Di dunia ini masih akan selalu asa hamba-hamba pilihan
Allah yang memahami untuk apa mereka di ciptakan, mereka menyadari hakikat
dunia yang esok atau lusa akan mereka tinggalkan. Mereka berhasil meyakinkan
diri bahwa taka da yang akan mereka bawa ketika masuk kubur nanti kecuali kain
kafan, dan bahwa dunia yang tampak menyenangkan ini hanya akan menyisakan hisab
(perhitungan dan pertanggung jawaban di hari kiamat) yang panjang. Mereka
sungguh orang-orang yang pandai, tak mau senang sesaat namun kemudian membawa
petaka yang maha berat. Tak menginginkan kebahagian sebentar tetapi membawa
penyesalan berkepanjangan”
Sejenak beliau diam dan minum segelas air putih di
hadapannya lalu beliau melanjutkan penjelasannya:
“Pertanyaanmu tadi mengingatkanku akan kejadian kemarin, ketika aku sedang berada di Madrasah Darul Faqih pada jam istirahat. Kala itu aku sedang berada di kantor dengan beberapa orang guru, tiba-tiba seorang anak remaja memanggilku dan memintaku mendekat, aku lalu mengajaknya menepi di sudut ruangan untuk berbicara dengannya.
“Pertanyaanmu tadi mengingatkanku akan kejadian kemarin, ketika aku sedang berada di Madrasah Darul Faqih pada jam istirahat. Kala itu aku sedang berada di kantor dengan beberapa orang guru, tiba-tiba seorang anak remaja memanggilku dan memintaku mendekat, aku lalu mengajaknya menepi di sudut ruangan untuk berbicara dengannya.
“Ustadzah, aku harap ustadzah berkenan menjadi saksi untuk
ibuku.”
Aku mendengarkannya, dengan lebih serius.
“Saksi atas apa, nak?”
“Ibuku sepanjang hidupnya tak memiliki apapun kecuali 2 buah
baju. Satu ia kenakan sementara yang lain ia cuci. Ia juga hanya memiliki 2
buah kerudung, mukena, sepasang sandal, sebuah sisir, cermin, piring,
Al-Qur’an, tasbih dan sajadah. Dia tak memegan satu sen pun uang, tak memiliki
perhiasan, rumah, barang, atau perabot apapun. Di masa tuanya beliau tinggal
dengan kakak tertuaku. Apabila salah satu dari anaknya memberinya uang, dia
akan menerimanya dengan senang hati dan mendoakannya namun keesokan harinya
uang tersebut sudah tidak lahi di tangannya.
Dan ketika beberapa hari yang lalu seseorang memberinya
hadiah selembar kain, beliau berkata:
“Jika umurku sampai Ramadhan nanti, jahitkan kain ini untuk baju sholatku sebagai pengganti mukena yang lama. Namun jika tidak, tolong berikan kepada ‘si fulanah’ yang rumahnya disana, kulihat mukena yang di pakainya terlihat usang dan tak lagi layak di pakai.
“Jika umurku sampai Ramadhan nanti, jahitkan kain ini untuk baju sholatku sebagai pengganti mukena yang lama. Namun jika tidak, tolong berikan kepada ‘si fulanah’ yang rumahnya disana, kulihat mukena yang di pakainya terlihat usang dan tak lagi layak di pakai.
Anak remaja di hadapanku menunduk, dia menyembunyikan air
matanya yang perlahan menetes sebelum akhirnya kemudian berkata:
“Ustadzah” panggilnya lirih
“Ibuku meninngal tiga hari yang lalu… ku harap ustadzah
berkenan menjadi saksi bahwa beliau telah berhasil menjalani kehidupan seperti
yang diinginkannya. Karena setiap kali aku protes dengan caranya menolak harta
dunia dia selalu berkata:
“Tahukah kau nak? Cita-citaku adalah termasuk dalam kelompok
orang yang di ceritakan nabi Muhammad SAW bahwa saat proses hisab masih
berlangsung, dan Shirotol mustaqim (jembatan yang tebentang di atas
neraka jahannam yang harus dilewati setiap manusia untuk menuju syurga) masih
dibentangkan, ada sekelompok orang yang telah menanti Nabi Muhammad SAW di
pintu-pintu syurga, hingga malaikat bertanya ;
“Siapakah kalian yang telah berada disini padahal proses
hisab masih berlangsung dan belum selesai?”
“Kami adalah sekelompok orang dari Umat Nabi Muhammad SAW
yang keluar dari dunia seperti kami masuk ke dalamnya. Tak ada yang harus di
hisab dari kami..” jawab mereka
Anakku… aku ingin keluar dari dunia ini tanpa membawa apapun
kecuali sekedar yang aku perlukan untuk bertahan hidup sehingga tak harus ada
proses hisab yang panjang menantiku di depan.”
Begitu selalu jawab ibuku dan dia berhasil menjalani hidupnya
tepat seperti yang dia mau. Aku bercerita padamu agar kelak engkau berkenan
menjadi saksi kebaikannya” kata remaja itu mengakahiri ceritanya..”
Aku takjub mendengar cerita Ustadzah Maryam dan kagum luar
biasa pada wanita yang beliau ceritakan itu.
Betapa sederhana hidup sesungguhnya… Ya sangat sederhana,
andai kita tidak menganggap penting sesuatu yang sebenarnya memang tidaklah
penting. Harta dunia yang karenanya banyak orang berlomba hingga mau berbuat
apapun untuk meraihnya, pada akhirnya akan ditinggalkan begitu saja.
Hidup ini sederhana saja sebenarnya.. Kita sendirinya yang
suka membuat sesuatu menjadi lebih rumit. Cinta dunia sering kali mengelabui
kita dari memahami makna hidup yang sesungguhnya.
Tarim 2000
Sumber buku “Bidadari
Bumi” karya Hubabah Halimah Alaydrus - Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih sudah berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat