Assalamualaikum Wr Wb.
Kembali lagi bersama Kami "Monggo Ngaji" , pada kesempatan ini kami memberi sebuah kisah yang berjudul "Sang Pembawa Pesan" yang mana kisah tersebut merupakan kisah ke 3 dari 9 kisah dalam buku Bidadari Bumi karya Hubabah Halimah Alaydrus - Jakarta
Sebelum membaca bab 2, bagi yang belum membaca kisah sebelumnya monggo lebih baik membacanya :
Bab 1 Bidadari Bumi Hubabah Tiflah - Ajarkan aku berdoa sepertimu
Bab 2 Bidadari Bumi - Sang Pembawa Pesan
Bab 3 Bidadari Bumi - Zuhud
Bab 4 Bidadari Bumi - Malam Panjang di Mina
Tak pernah terbayangkan dalam benakku bahwa aku akan menjalani kehidupan seperti ini. Harus berjalan kaki paling tidak 2 km setiap hari. Melewati jalalanan terjal bebatuan bahkan naik turun gunung tanpa pepohonan rindang.
Kembali lagi bersama Kami "Monggo Ngaji" , pada kesempatan ini kami memberi sebuah kisah yang berjudul "Sang Pembawa Pesan" yang mana kisah tersebut merupakan kisah ke 3 dari 9 kisah dalam buku Bidadari Bumi karya Hubabah Halimah Alaydrus - Jakarta
Sebelum membaca bab 2, bagi yang belum membaca kisah sebelumnya monggo lebih baik membacanya :
Bab 1 Bidadari Bumi Hubabah Tiflah - Ajarkan aku berdoa sepertimu
Bab 2 Bidadari Bumi - Sang Pembawa Pesan
Bab 3 Bidadari Bumi - Zuhud
Bab 4 Bidadari Bumi - Malam Panjang di Mina
Tak pernah terbayangkan dalam benakku bahwa aku akan menjalani kehidupan seperti ini. Harus berjalan kaki paling tidak 2 km setiap hari. Melewati jalalanan terjal bebatuan bahkan naik turun gunung tanpa pepohonan rindang.
Baru 2 hari yang lalu ketika genap
setahun aku menempati rumah yang dulu. Yang tak jauh dari Daruz Zahro tempat
aku menuntut ilmu. Masa kontrakan habis dan untuk memperpanjangnya, pemilik
rumah minta uang sewa dinaikkan dan kami yang hanya pelajar tanpa penghasilan
tambahan kecuali mengharap kiriman dari orang tua nun jauh disana, tak dapat
berbuat apa-apa kecuali menyerah pada keadaan. Rela meninggalkan rumah
kontrakkan yang telah kami tempati selama ini.
Maka siang itu selepas sholat
dhuhur, sepulang aku dari belajar, kakak ku menyuruhku segera mengemasi barang.
“Mau pindah kemana kita kak?” tanyaku penasaran
“Aku juga belum tahu, tapi yang aku tahu Allah tak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang dalam keadaan terjepit seperti kita” Jawabnya tanpa beban sambil menutup pintu dan keluar.
“Mau pindah kemana kita kak?” tanyaku penasaran
“Aku juga belum tahu, tapi yang aku tahu Allah tak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang dalam keadaan terjepit seperti kita” Jawabnya tanpa beban sambil menutup pintu dan keluar.
Kalau di piker-pikir ada betulnya
juga, apalagi terhadap pelajar seperti kami. Bukankah ada jaminan khusus untuk
para penuntut ilmu, dimana Allah akan memenuhi kebutuhan mereka dari arah yang
tidak disangka-sangka?
Maka ketika kakakku tiba di rumah,
beberapa jam setelah kepergiannya, dari raut wajahnya aku tahu Allah telah
menepati persangkaannya.
“Kita dapat ruah indah di lereng
gunung. Di bagian atas bangunan masjid yang baru selesai di bangun. Seseorang
sewaktu aku sholat Ashar di masjid tadi menunjukkannya. Aku sudah melihatnya
dan aku yakin kamu pasti menyukainya.” Katanya penuh semangat.
●●●
Dan rumah itu memang indah. Memang
berada di lereng gunung batu. Dari halaman rumahku bahkan bisa terlihat nyaris
seluruh kota Tarim lengkap dengan kebun-kebun kurmanya yang tampak indah di
musim berbuah kali ini. Dan rumah itupun benar-benar di atas sebuah masjid ,
tapi bukan di atas bangunan masjid yang besar itu, tepatnya ia berada di atas
tempat wudhu dan kamar mandi masjid yang aku hitung berjumlah dua belas.
Merupakan adat istiadat dan tradisi
di negri ini setiap membangun masjid selalu membangun sarana yang mendatangkan
penghasilan untuk masjid. Ada yang membangun ruko-ruko yang di kontrakkan,
kebun kurma di halaman belakang atau rumah kontrakkandi samping atas masjid
seperti rumah yang aku tempati ini.
Sebuah tradisi yang baik dan
bijaksana kukira. Hingga tak kudapati masjid-masjid meletakkan kotak amal di
pintu-pintu masuknya. Bahkan selalu kulihat Masjid di tiap pelosok di negeri in
lebih mewah dari rumah-rumah warganya.
Rumah itupun tak hanya indah tapi
murah. Karena terletak di daerah yang masih sepi. Sangat sepi bahkan nyaris tak
kudapati rumah di sekitar rumah ini yang sedang di huni. Pantas saja pengurus
masjid begitu senang ketika kami sampaikan keinginan kami tinggal di sini.
Hitung-hitung sekalian memakmurkan masjid pikirnya. Karena di butuhkan orang
untuk menyalakan dan mematikan lampu tiap pagi dan sore hari. Dan itu bisa kami
lakukan, apalagi kakakku tidak keberatan untuk mengumandangkan adzan di tiap
waktu sholat yang dia sedang berada di rumah. Pengurus masjid hanya meminta
kami membayar 1500 reyal (mata uang Negara Yaman) sekitar 150 ribu
rupiah perbulannya. Nilai uang yang sangat kecil di bandingkan biaya kontrakan
rumah pada umumnya.
Maka lengkaplah rumah ini sebagai
sebuah pertolongan dari Allah. Bangunannya indah, pemandangannya bagus, dekat
masjid, murah lagi.
Satu-satunya masalah yang kemudian
muncul hanyalah kenyataan bahwa rumah ini jauh dari tempat kami belajar. Jarak
tempuhnya dari Daruzzahro lebih dari 500 meter. Yang jika aku berangkat sekolah
pagi di pagi hari, kembali di siang hari untuk kemudian berangkat lagi di sore
hari menghadiri rauhah (semacam pengajian umum yang di lakukan di sore
hari) dan pulang pada malam harinya berarti aku berjalan kaki
sekurang-kurangnya 2 km setiap hari. Selanjutnya silahkan hitung sendiri berapa
kilo meter yang aku tempuh dalam tiap bulannya. Sungguh betul-betul sebuah
perjlanan berat lagi melelahkan apalagi perjalanan itu berupa naik turun gunung
batu nan terjal tanpa aspal. Terlebih jika dilakukan seperti saat ini, di musim
panas yang suhunya mencapai 40 sampai 50 derajat celcius. Sungguh lengkap
perjuangan hidup ini, membuat aku merasa seolah-olah menjadi seorang pendekar yang
naik turun gunung untuk mengalahkan musuh besarnya.
Maka kala pagi ini aku menyandang
tas besar berisi kitab-kitab yang akan ku pelajari, buku tulis, beberapa bolpen
dan sebuah alat rekam menelusuri jalanan terjal bebatuan, aku jadi berfikir
seolah sedang membawa persenjataan menumpas musuh besar. Ya, betul juga kurasa,
bukankah musuh dalam hidup kita yang terbesar adalah setan? Aku pernah
mendengar bahwa yang paling disukai setan pada diri manusia adalah kebodohan,
dan yang paling di takutinya adalah ilmu pengetahuan yang bisa mendekatkan
seorang hamba pada Tuhan. Berarti tatkala aku berangkat belajar bukankah aku
sedang berperan melawan musuh besar? Jika memang begitu, bagiku sungguh
terkalahkannya setan sebagai musuh pengganggu perjalanan hidupku adalah harga
yang pantas dibayar untuk kelelahan yang sedang aku lakukan.
Kakiku masih tetap melangkah
bersama tetesan-tetesan keringat yang mengalir deras dan kakiku mulai terasa
lemas. Akupun lalu berfikir tentang segala hal yang menjadikan semua kelelahan ini
tidak sia-sia. Ya, agar perjalanan ini menjadi lebih bermakna, agar tiap
langkah yang kutempuh tak membawa penyesalan. Bersama tiap langkah kakiku, aku
mulai menghitung-hitung niat yang terfikir di benakku.
“Aku tinggal jauh di rumah masjid itu dengan niat agar langkah-langkahku menempuh kebaikan menjadi lebih banyak, berarti lebih banyak pula nilai pahalaku, dan tinggal yang bersatu dengan masjid memudahkanku beri’tikaf setiap waktu terutama karena masjid itu belum ramai di kunjungi orang. Pemandangan indah di sekitar masjid, pegunungan dengan bebatuan aneka warna bisa memudahkanku bertafakkur dan mensyukuri keindahan alam ciptaan Tuhan.”
“Aku tinggal jauh di rumah masjid itu dengan niat agar langkah-langkahku menempuh kebaikan menjadi lebih banyak, berarti lebih banyak pula nilai pahalaku, dan tinggal yang bersatu dengan masjid memudahkanku beri’tikaf setiap waktu terutama karena masjid itu belum ramai di kunjungi orang. Pemandangan indah di sekitar masjid, pegunungan dengan bebatuan aneka warna bisa memudahkanku bertafakkur dan mensyukuri keindahan alam ciptaan Tuhan.”
Saat aku berjalan keluar menuju
sekolah, kuniatkan setiap langkahku sebagai bentuk khidmah (pelayanan
terhadap agama) kepada Allah dan Rosul-Nya juga berharap berkah dari para wali
(orang yang dicintai Allah karena ketakwaan kepada-Nya) di negri ini. Dan
aku niatkan bersama tiap degup jantungku, seiring langkah-langkahku sebagai
sarana men-syiarkan agama islam karena aku melangkah untuk menuntut ilmu yang
akan aku sampaikan pada saudara-saudara seiman ketika aku pulang ke negeriku
nanti. Dan aku niatkan pula tiap desah nafasku untuk menyenangkan hati
Rosulullah Saw di alam Beliau sana karena dari sekian umatnya banyak lupa
syariatnya, aku adalah satu dari sedikit mereka yang mau lelah mempelajari
ajarannya untuk ku sebarluaskan kepada umatnya.
Aku masih menghitung-hitung niat
yang bisa kuhadirkan dalam hatiku sampai langkahku kemudian terhenti ketika
dikejutkan suara wanita yang sedang menyapu, memanggilku.
“Ya Bunayyah..(panggilan sayang untuk anak-anak)”
panggilnya sambil sejenak berhenti menyapu dan pandangannya lurus menghadapku.
Aku menghampirinya.
Diletakkakannya sapu di tangannya di bawah pohon kurma
kemudian tersenyum penuh saying. Dia menepuk-nepuk pundakku seraya berkata
perlahan. Sangat perlahan seolah dia tak ingin aku kehilangan satu katapun dari
apa yang dia ucapkan. Dia berkata:
“Wahai anakku.. Allah akan memberi sesuai dengan apa yang
kau niatkan”
Aku berdiri kebingungan nyaris tak percaya dengan apa yang
baru saja kudengar. Aku memintanya kembali mengulangi ucapannya dan dia
berkata lagi:
“Allah akan mengkaruniakanmu sesuai dengan niat-niatmu”
katanya kemudian.
Aku masih berdiri keheranan, ketika dia kembali mengambil
sapu dan meneruskan pekerjaannya. Sejenak kemudian aku tersadar dan mengucapkan
terimakasih padanya lalu melanjutkan perjalanan sambil tak habis mengerti
bagaimana sesuatu yang aku pikirkan bisa dibaca oleh seorang wanita yang bahkan
tak pernah kukenal ini.
Kebetulan?....
Kurasa itu terlalu jauh dari kemungkinan.
Melihat senyum dan caranya bertutur, aku begitu yakin bahwa
ucapannya tak hanya sekedar kebetulan semata. Dia penyampai kabar gembira dari
Tuhannya.
Menyadari hal itu aku kembali menoleh ke belakang dan
mendapati wanita itu masih menyapu halaman rumahnya. Namun pandangankucpadanya
berubah menjadi sebuah kekaguman. Kagum bahwa dia adalah hamba yang Allah pilih
jadi penyampai kabar gembira pada hamba-hambaNya. Perantara antara Allah dan
makhlukNya. Pemberi pelajaran-pelajaran kehidupan.
"Hati-hatilah dengan firasat seorang mukmin, ia bisa melihat dengan cahaya Allah." (H.R Tirmidzi dan Thabrani)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih sudah berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat