Kembali lagi bersama Kami "Monggo Ngaji" , pada kesempatan ini kami memberi sebuah kisah yang berjudul "Hubabah Tiflah - Ajarkan aku berdoa sepertimu" yang mana kisah tersebut merupakan kisah ke 1 dari 9 kisah dalam buku Bidadari Bumi karya Hubabah Halimah Alaydrus - Jakarta
Daftar isi :
Bab 1 Bidadari Bumi Hubabah Tiflah - Ajarkan aku berdoa sepertimu
Bab 2 Bidadari Bumi - Sang Pembawa Pesan
Bab 3 Bidadari Bumi - Zuhud
Bab 4 Bidadari Bumi - Malam Panjang di Mina
Lebaran pertamaku di perantauan. Tanpa ketupat, tanpa opor, tanpa sambal goreng kesukaan, tanpa kue-kue kering makanan khas lebaran. Tanpa orang tua, tanpa saudara tanpa teman-teman sepermainan. Tanpa siapapun yang sebelumnya kukenal kecuali kakak laki-lakiku yang memang bersamanya aku merantau ke negri orang.
Dengan
baju baru yang dibelikan kakak semalam, aku berjalan keluar rumah sendirian.
Kakakku sudah lebih dulu keluar, ada acara uwadh semacam open house,
silaturrahmi antar ulama dan masyarakat.
“Khusus Laki-laki” jawabnyaketika kuutarakan niatku ikut
bersamanya.
Maka aku pun berjalan sendirian. Takbir Idul Fitri sudah
tidak lagi terdengar. Karena selepas shola ied pagi tadi masjid-masjid sudah
berhenti mengumandangkan takbir. Dari kejauhan tampak deretan pohon kurma yang
tidak sedang berbuah. Sekarang musim dingin dan pohon-pohon kurma baru akan
berbuah pada musim panas. Kabarnya angin panas padang pasir yang biasa disebut Samum
(Nama angin yang mengeluarkan hawa panas) itulah yang membuat masak buah kurma.
Pantas saja pohon kurma tak berbuah di negeri Indonesia. Angina disana tidak
panas malah sejuk menerpa wajah.
Jalanan telihat lengang hanya sesekali saja kulihat
mobil-mobil pribadi yang mungkin membawa penumpangnya bersilaturahmi saling
berkunjung pada lebaran seperti ini.
Kuketuk pintu rumah ustadzah Zainab AlKhotib. Seorang
Ustadzah dari Taiz, sebuah kota pertanian di daerah Yaman Selatan yang kini
menetap di Tarim (nama sebuah kota di profinsi Hadramaut Republik
Yaman) dan mengajar di Daruz Zahro (nama lembaga pendidikan agama
semacam pesantren putri), Ma’had (semacam pesantren di Indonesia)
dimana aku bersekolah disana. Suaminya Ustadz dan pengurus Darul Musthofa
(nama lembaga pendidikan agama yang didirikan oleh Da’I ila Allah Al
Habib Umar Bin Hafidz), yayasan yang membawahi Daruz Zahro.
Kebetulan kemarin disaat bejumpa dengannya di masjid, sewaktu sama-sama
sholat tarawih terakhir , beliau mengajakku –mungkin karena kasihan terhadap
anak-anak yang berlebaran sendirian- berkunjung ke beberapa orang tua di negeri
ini.
Senyum Muhammad putera ustadzah segera menyambutku kala ia
membukakan pintu.
“Kamu Halimah dari Indonesia ya?” tanyanya dengan dialek
arab yang fashih. Usianya kutaksir 7 tahunan.
Aku mengangguk mengiyakan dan diapun segera berlari kedalam
memberitahukan ibunya setelah sebelumnya mempersilahkan aku masuk dan duduk di
ruang tamu. Sebuah ruangan tanpa kursi khas arab hanya bantal-bantal tebal
tersusun sebagai sandaran.
Tak lama Ustadzah Zainab menemuiku dengan sebaki nampan
penuh makanan. Ada berbagai jenis halawa (kue manis biasanya terbuat
dari wijen), kacang-kacangan, gela (sejenis kwaci) dan secangkir teh
dengan ni’na (daun mint) minuman khas daerah ini.
Setelah berbasabasi sebentar menanyakan keadaan dan aku
menjawabnya dengan bahasa arab ala kadarnya karena baru kurang lebih sebulan
aku tinggal di negeri ini, Ustadzah Zainab menerangkan padaku siapa yang akan
kami kunjungi hari ini.
“Kita biasa memanggilnya Hubabah Tiflah” katanya.
“Seorang perempuan tua, ahli ibadah yang lisannya tak pernah
berhenti berdzikir. Orang-orang biasa memanggilanya dengan nama itu (dalam
bahasa arab artinya bayi) mungkin karena beliau sampai dimasa tuanya masih
tetap seperti bayi, tak pernah menyakiti siapapun.”
Rumah itu sangat sederhana kalau tidak malah bisa dibilang
miskin papa. Tak ada permadani tebal atau sandaran-sandaran empuk layaknya
rumah-rumah yang lain pada umumnya. Hanya karpet tipis yang mulai lapuk
menutupi tanah tak bersemen di bawahnya. Dindingnya hanya separuh yang di cat.
Selebihnya berwarna coklat asli tanah yang dilaburkan begitu saja. Ada tumpukan
bantal dan selimut usang di sudut ruang. Kurasa diruangan itu pula mereka biasa
tidur di malam hari. Sungguh keadaan yang memprihatinkan. Sangat tidak sesuai
dengan raut wajah mereka yang menyambut kami kala masuk rumah tadi. Senyum mereka
begitu lepas tanpa beban, tawa ceria anak-anak kecilpun tetap terdengar,
sambutan berupa pelukan dan di barengi ucapan ahlan wa sahlan (ungkapan
selamat datang dalam bahasa arab) terdengar berulang-ulang seolah kami adalah
kerabat dekat yang selalu dinanti bertandang. Sungguh… aku jadi betul menyadari
memang benar bahwa kebahagiaan tak selalu diukur dengan materi.
Sekilas kudengar Ustadzah Zainab memperkenalkan aku kepada
keluarga itu sebelum akhirnya menarik tanganku menemui seorang wanita tua yang
duduk bersandar di sudut ruangan.
Wanita itu segera tersenyum demi menyadari keberadaan kami. Aku
berpikir ini pasti Hubabah Tiflah yang diceritakan Ustadzah Zainab di rumahnya
tadi. Usianya kutaksir di atas tujuh puluhan. Kulitnya sawo matang berkeriput.
Dan Ya Allah…
ternyata beliau buta…
pantas saja beliau tidak ikut berdiri bersama yang lain kala menyambut kami. Aku perhatikan raut wajahnya. Dia tidak cantik namun dari wajahnya terlihat seolah tak pernah ada beban atau masalah apapun dalam hidupnya. Beliau betul-betul seperti bayi. Aku diam di hadapannya, tak tahu harus berbuat apa. Hingga tatkala kulihat Ustadzah Zainab duduk dan mencium tangan wanita itu, akupun cuma mengikuti saja di belakangnya. Dan sambil kupegangi tangannya, aku memperkenalkan diri
ternyata beliau buta…
pantas saja beliau tidak ikut berdiri bersama yang lain kala menyambut kami. Aku perhatikan raut wajahnya. Dia tidak cantik namun dari wajahnya terlihat seolah tak pernah ada beban atau masalah apapun dalam hidupnya. Beliau betul-betul seperti bayi. Aku diam di hadapannya, tak tahu harus berbuat apa. Hingga tatkala kulihat Ustadzah Zainab duduk dan mencium tangan wanita itu, akupun cuma mengikuti saja di belakangnya. Dan sambil kupegangi tangannya, aku memperkenalkan diri
“Halimah dari Indonesia” Kataku kataku dengan lahjah
(dialek) yang ketara bukan orang arab tentunya.
Dia balas memegang erat tanganku lama sekali hingga kurasa
hangat tangannya menjalari tanganku. Lalu dia meraba-raba wajahku dengan kedua
tangannnya. Mungkin untuk mempermudah dia membayangkan rupaku.
Kemudian diletakkannya tangan kanannya di dadaku, dan lalu
ia mendoakanku. Dia terus berdoa dan tak henti-hentinya berdoa untukku. Seolah saat
itu tak ada yang lebih penting darinya kecuali aku. Perempuan asing yang bahkan
baru ia kenal beberapa menit yang lalu. Ia masih saja berdoa dengan satu
kalimat sederhana. Ya, ia berdoa dengan satu kalimat saja. Satu kalimat doa
yang tak akan pernah kulupa. Apalagi tatkala kemudian diiringinya doa tersebut
dengan linangan air mata. Sungguh membuat aku terpana, lemas tak mampu bahkan
untuk mengangkat tanganku mengaminkan doanya…
“Semoga Allah takkan tega menyengsarakanmu anakku..” doa it
uterus di ulangnya berkali-kali dengan cucuran air mata…
Ya Allah, sampai kapanpun, dimanapun, jangan pernah tega
untuk menyengsarakan hidupnya”..
katanya lagi dan lagi dengan air mata yang membanjiri wajah tuanya. Membuatku tak kuasa membendung luapan airmata dan akupun ikut menangis terguguk di lantai itu juga.
katanya lagi dan lagi dengan air mata yang membanjiri wajah tuanya. Membuatku tak kuasa membendung luapan airmata dan akupun ikut menangis terguguk di lantai itu juga.
“Ya Allah… kabulkan doanya.” Teriakku dalam hati. Jangan pernah
tega menyengsarakan aku sekarang, nanti dan selamanya, di sini dan di sana. Di dunia
ini ataupun hari setelahnya.
Tangisku tumpah ruah. Kukutuki diri dan dosa-dosa yang cukup
membuat Allah murka dan berkemungkinan membuatku sengsara. Aku malu atas
gunung-gunung dosa yang kutimbun tak habis-habisnya.
“Ya Allah, dan maafkan aku yang tak mengerti bagaimana
berdoa pada-Mu. Maafkan aku yang jika untuk keselamatan diriku sendiri harus ada
orang lain yang memohonkan dengan linangan air matanya. Sesuatu yang bahkan tak
kuingat pernah kulakukan”
“Dan terimakasih Ya Allah… Kau perkenalkan aku pada wanita
ini yang berdoa untukku ribuan kali lebih baik dariku.”
“Terima kasih untuk air mata kesungguhannya yang mungkin tak
kudapat dari orang-orang yang mengaku mencintaiku sekalipun.”
“Terima kasih pula telah Kau bawa aku ke rumah ini. Rumah yang
aku yakini di mata malaikat-Mu lebih indah dari rumah bermarmer mewah namun
penghuninya tak pandai mensyukuri nikmat-Mu.”
“Terima kasih Ya Allah untuk sebuah pelajaran berharga”
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih sudah berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat